Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
|
http://jura.org.au |
Kerapkali,
tak hanya sekali, makna istilah anarkisme menjadi demikian dangkal. Tidak hanya
pengertiannya saja, melainkan juga imajinasi istilah ini. Bayangkan, kekeliruan
itu tidak hanya digunakan oleh segelintir kelompok sebagaimana mereka
menggunakan istilah “Islam Radikal” untuk menunjukkan “kelompok yang
menggunakan kekerasan sebagai jalan dakwah”. Persoalannya bukan pada istilah
Islam, melainkan pada adjektiva “radikal” yang sebenarnya justru bermakna “mendalam”.
Begitu pun dengan istilah anarkisme. Entah media massa cetak atau media sosial,
atau ceramah seorang profesor di podium akademik, anarkisme digunakan untuk
merujuk tindakan destruktif, tak beradab, bengis, atau kejam.
Darimana
istilah anarkisme berubah menjadi demikian serampangan?. Beruntung jika publik
Indonesia belakangan ini diramaikan dengan penerbitan buku-buku yang membahas
soal anarkisme, dua di antaranya ialah yang diterbitkan Marjin Kiri, yakni Sean
M. Sheehan Anarkisme; Sebuah Perjalanan
Gerakan Perlawanan (2014); John Moore
(Ed.) dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia.
Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme (2014).
Buku
pertama, yang ditulis oleh Sheehan, membahas soal kebangkitan anarkisme sebagai
sebuah gerakan baru yang disebut dengan “Neo-Anarkisme. Sheehan memberi contoh
sejumlah demo anti-kapitalis yang jauh dari kesan “anarkis” seperti bakar ban,
bentrokan jalanan, atau perusakan fasilitas umum. Jauh dari kesan dan taktik
semacam itu, demo anarkisme justru muncul lebih kreatif. Misalnya “aksi duduk
diam” yang begitu terkenal dengan gerakan anarkis kini menjadi suatu yang umum
digunakan oleh banyak gerakan sosial lainnya. Tampaknya kreasi model demo yang “tanpa-kekerasan”
banyak diinspirasi dari gerakan anarkisme, telah menjadi pilihan rasional
kelompok non-anarkis. Model lainnya ialah “teater jalanan”, “barikade rantai
manusia”, “pengibaran spanduk”, dan tentu saja sejumlah aksi demo yang
fotogenik kerapkali menjadi sangat bermakna.
Sheehan
juga memberi contoh lain soal penggunaan instrumen demo yang kreatif dan aneh. Siapa
yang tidak janggal menemukan barisan polisi menghadapi ribuan boneka kain yang
ditembakkan oleh sebuah tiruan ketapel abad pertengahan di atas udara? Kalau masih
belum aneh, lihatlah aksi kelompok radikal cheerleaders. Yang lebih lucu adalah
kenyataan bahwa demonstrasi damai ini dihadapi oleh polisi anti huru-hara
dengan serbuan tembakan peluru karet dan gas air mata hingga granat getar. Sheehan
menggambarkan “gelap matanya” aparat keamanan menghadapi kreatifitas
demonstrasi ini dengan melakukan penahanan ilegal terhadap 631 demonstran. Untuk
hal ini, kita semua pasti ingat kasus baru-baru ini di mana Adlun Fikri dipenjara
karena merekam tindakan pemalakan seorang oknum polisi. Adlun, tak bersenjata,
juga sama sekali tak berbahaya. Saya pernah bertemu dengannya saat diskusi di Rumah
Baca Komunitas, dan perlu diketahui, orang ini sama sekali tak tampak tega
menyakiti siapapun.
Tindakan-tindakan
“perlawanan” yang tak tampak “melawan” ini merupakan kejadian sehari-hari yang
ditemukan. Di Indonesia, sekelompok ibu-ibu menghadang aparat keamanan yang
hendak membuka barikade pemblokiran masyarakat terhadap alat-alat berat yang
merusak alam. Dan seperti yang sudah-sudah, seorang ibu yang tengah hamil
ditendang perutnya. Dalam banyak hal, tindakan anarkisme yang penuh dengan
sikap tak “melawan” dihadapi begitu keras, ilegal, dan keji, yang menandakan si
pengguna tak menggunakan akal sama sekali. Beberapa orang anarkis seperti
Theodore Kaczynski sang penulis Unabomber
Manifesto ini bahkan menjalani hidup tanpa listrik, dan menanam sendiri
sayuran yang dimakannya.
Istilah
anarkisme berasal dari bahasa yunani yang berarti “tanpa pemimpin”, “tanpa
pemerintah” atau “tanpa negara”. Pengertian ini jangan sampai membuat kita
jatuh kepada pemahaman bahwa anarkisme dengan segala variasinya menolak negara.
Sebagaimana dijelaskan Sheehan, anarkisme menolak negara sebagai “realitas
transendental” sekaligus sebagai “perangkat empiris” yang membuat negara berarti “suatu tatanan berkuasa
yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya..” (hlm. 24). Tentu saja,
dalam pandangan republikan, hal ini termasuk tak dapat diterima, tetapi
anarkisme punya penjelasan kasuistik yang menarik untuk direfleksikan. Apalagi mengingat
anarkisme sebenarnya merupakan perwujudan perlawanan sehari-hari, spontan, yang
tak terhitung bentuk serta konteksnya. Misalnya, dalam negara yang berdasar
hukum dan menganut demokrasi sekalipun, sejumlah referendum yang menyangkut
nyawa banyak orang ditentukan oleh segelintir kelompok. Siapa menentukan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan dari ujung timur ke ujung barat harus bersiap-siap
menghadapi ekspansi pemodal asing, sementara kebutuhan pokoknya pun tak dapat
dijamin aman oleh negara?. Untuk soal ini memang dapat diperdebatkan (tapi
siapa yang peduli? Bukankah eksistensi negara diukur lewat kapasitasnya
menjamin hidup komunitas?).
|
http.amazon.com |
Buku
kedua, ditulis oleh John Moore dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik
Anarkisme, merupakan sebuah percobaan reflektif tentang kaitan antara
pemikiran Nietzsche dan anarkisme. Sebenarnya percobaan begini bukan sesuatu
yang asing. Sebagaimana diketahui, belakangan ini pemikiran Nietzsche kerap
disinggung untuk membahas persoalan nasionalisme, agama, militerisme, atau
hukum. Jika Heath dan Potter menganggap bahwa “gerakan politik radikal selalu
memikat orang gilanya sendiri-sendiri” maka karya Moore dan Spencer ini tak
pelak menunjukkan justru Nietzsche sebagai pemikir “gila”, dengan
pikiran-pikirannya itu begitu memikat gerakan radikal semacam anarkisme.
Radikal
dan anarkisme memang berdekatan sebab kedua-duanya mengambil segala yang berada
di akar untuk menjadi landasan hidup. Bukan sesuatu yang begitu superfisial
sekaligus menjadi penyebab keruntuhan peradaban manusia. Moore yang terkenal
mengusung Primitivisme sebagai teori sosial dalam salah-satu wawancara
menyatakan bahwa anarkisme membawa kritik totalitas peradaban dengan berusaha memulai
transformasi yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan manusia. Radikalnya
anarkisme terletak persis pada sifat kritik totalitas peradaban tersebut dan
sifat komprehensifnya. Hal ini sama nyaris dengan bagaimana penganut
kepercayaan seperti Islam melihat bahwa dasar dari masalah kontemporer adalah
totalitas peradaban yang tercerabut dari nilai-nilai ilahiah. Tentu saja ini
bukan asumsi, karena sebuah kuis internet pernah menantang perbedaan-perbedaan
gagasan substantif antara Kaczynski tentang kerusakan alam akibat industri dan
gagasan Al-Gore dalam buku Earth in the Balance. Hasilnya
apa? Tak syak lagi banyak orang yang kesulitan membedakan nukilan Kaczynski
dalam Unabomber Manifesto dan nukilan
Al-Gore dalam Earth in the Balance.
Buku
Aku Bukan Dinamit, secara praktis
sebenarnya hendak mencicil primitivisme sebagai teori sosial, dan menjelaskan
kepada khalayak tentang inspirasi-inspirasi Nietzsche bagi anarkisme. Penting juga
untuk dicatat bahwa Moore dan Spencer mengedit sejumlah tulisan yang secara
garis besar tak menunjukkan usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa anarkisme
melakukan penyeruan untuk “kembali ke masa lalu”. Justru muncul kesan bahwa
anarkisme merupakan gerakan yang membuka preseden baru bagi peradaban melalui
penghapusan kekuasaan. Letak penting buku ini bagi penikmat gagasan anarkisme
adalah melihat masa depan sebagai dunia yang mungkin.
_________________
sumber: http://www.ipm.or.id/2016/03/anarkisme-gerakan-yang-penuh-inspirasi.html